Maxi-Single dan Maturasi Dongker
Beberapa waktu lalu, ada yang membagikan twit soal bagaimana proses kreatif pembuatan artwork album dari beberapa musisi lokal dan dunia. Lalu kemudian saya membaca tulisan tentang maxi-single tebarunya Dongker yang berisi 2 lagu, yaitu: 'Luka di Pelupuk Mata' yang ditulis dengan membersamai Muhammad Heikal, yang juga dikenal sebagai Binar dan 'Sedih Memandang Mimpi' yang bakal menjadi materi di album penuh pertama mereka yang katanya akan dirilis tahun ini. Kalau dilihat, artwork-nya hanyalah sekumpulan self portrait orang orang yang mengenakan balaclava dan make-up yang salah satunya mengingatkan saya dengan karakter Douzi di film 'Farewell My Concubine (1993, dir. Chen Kaige)’.
Salah satu yang membuat artwork dari sebuah album dikatakan bagus menurut saya adalah konteks. Artwork maxi-single mereka menampilkan member Teater Tuturupa yang direncanakan akan tampil di konser perdana Dongker bertajuk 'Tuhan di Reruntuh Bandung’, namun terpaksa dibatalkan karna isu punk legislatif yang dialami Delpi selaku vokalis, gitaris, dan penulis lirik. Yang mana cukup menyedihkan. Saya pribadi menyematkan sedih lebih kepada dibatalkannya konser tersebut, ketimbangan terhadap keputusannya Delpi nyemplung politik. Karena banyak juga sebaliknya.
Setelah 2 EP, menurut saya lagu-lagu Dongker mencapai satu titik kedewasaan dari segi tema dan lirik. Tak begitu banyak carut marut dan caci maki tapi tetap elegan, tajam, dan juga kritis. Maksudnya mereka bisa shifting dari menulis:
"Yasraf Amir terpukul mundur
Kebodohanmu terlampau manjur
Tolol dari beton yang tlah hancur
Kontol penuh aparat serupa kencur"
(Dari lagu Balada Gehel)
Menjadi:
"Menghajar jalan, melemah dan membangkang
Andai negara, dirimu, dan diriku
bisa saling tahu, tak perlu saling bunuh
Oh sial, hari hari tak berbeda
untuk siapa, banting tulang ini"
(Dari lagu Sepenggal Sadar)
Tak hanya dari lirik, musik mereka juga shifting ke arah punk yang lebih melodik. Berbeda dengan era ‘Upaya Memaki’ dan ‘Menghibur Domba di Atas Puing’ yang dibangun memang dengan pondasi musik punk; 3 chords, durasi 1,5–2 menit, dan minim solo gitar. Di maxi-single ini, lagu ‘Sedih Memandang Mimpi’ adalah lagu Dongker yang paling “keluar jalur”, in a good way, yah, karna di sana mereka hanya memainkan gitar akustik. Menurut saya eksplorasi genre dan gaya bermusik juga penting, dan Dongker berhasil membuat aransemen lagu itu tanpa kehilangan identitas mereka yakni dengan cara tetap memadukan distorsi kasar dari genjrengan gitar dan vokal mereka.
Didominasi dengan tema identitas moratorium yang dialami seseorang yang telah mengalamai difusi identitas, membuat lirik-lirik dari single yang dirilis setelah 2 EP mereka sebelumnya akan mudah relate dengan generasi sekarang yang banyak struggling dengan situasi dan atau bahkan diri mereka sendiri. Hal itu juga dialami oleh member Dongker sendiri yang kemudian melahirkan magnum opus dari band ini, which: 'Bertaruh Pada Api’. Yang sebenarnya (sudah banyak dikatakan oleh mereka diberbagai interviu) merupakan output dari pergulatan batin Delpi dengan keluarganya di saat dirinya secara terpaksa masuk ke dunia politik demi memenuhi ekspektasi keluarga tanpa pertimbangan dirinya sendiri. Sekali waktu saya pernah nangis dengerin 'Bertaruh Pada Api' karna saya merasa, di satu titik saya dan Delpi datang dari tempat yang sama. Cuma mungkin mangkoknya beda, dan saya merasa bersyukur bisa setidaknya keluar sementara dan memikirkan pilihan hidup yang saya ambil sebenarnya untuk siapa.
Dongker juga selalu mengatakan kalau 'Bertaruh Pada Api' adalah lagu patah hati. Tapi tak sesederhana itu sebenarnya. Ada kebimbangan kayak: patah hati namun penuh harap. Nihilis namun eksistensialis. Kebutuhan atas institusi lebih besar untuk disalahkan sebagai justifikasi atas apa yang ia rasa.
“Aku selalu mencoba tuk menang dan tak
Akan pernah memenangkan semua
Aku ingin terus hidup
Berharap umurku panjang
Tapi lihat ku tak tenang
Selamanya
Semua orang takkan patuh
Semua cinta takkan runtuh
Oleh kuasa
Suara kita
Takkan menyerah di bawah tanah
Kabar baik menunggumu
Datang hari
Tanpa batas tanpa negara tanpa agama”
(Dari lagu Bertaruh Pada Api)
Liriknya memang ditulis se-general mungkin dengan maksud membebaskan semua pendengarnya untuk menginterpretasikannya se-personal mungkin. Lucunya, ‘Bertaruh Pada Api’ adalah lagu yang sebenarnya lahir tanpa ekspektasi apapun. Itu juga alasan mengapa lagu ini dirilis pertama sebegai single dari semua rangkaian materi yang dipersiapakan untuk album penuh mereka.